Kamis, 04 Desember 2008

Terjemahan filsafat yunani ke dalam Islam

Terjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam (Arab) diakui telah mendorong pemikiran dan filsafat Islam berkembang sangat pesat. Akan tetapi, hal itu bukan berarti filsafat Islam adalah jiplakan Yunani. Sebab, pertama , belajar tidak identik dengan penjiplakan. Kenyataannya, filsafat Islam yang dikembangkan filosof muslim berbeda sama sekali dengan filsafat Yunani. Kedua , pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan sebelum kedatangan terjemahan filsafat Yunani. Teologi Muktazilah yang sangat rasional saat itu telah menjadi doktrin resmi negara.

Bagaimana proses terbentuknya nalar filsafat dalam Islam? Pertama-tama karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan antara teks dengan konteks yang terus berkembang. Kedua, secara teologis, adanya tuntutan untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang kontradiktif dan rumit, seperti antara kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk manusia. Ketiga, karena adanya serangan orang-orang non muslim terhadap pandangan teologis masyarakat Islam seperti yang dilakukan pendeta Yahya al-Dimasyqi.
Proses-proses tersebut, secara epistemologis, kemudian mengkristal menjadi 3 model: bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sistem penalaran yang mendasarkan diri pada teks, secara langsung atau tidak. Langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan aplikatif. Tidak langsung artinya, memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang masih buruh penalaran dan tafsir. Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, bayani menempuh dua cara: (1) berpegang pada redaksi teks, (2) menggunakan metode analogi. Irfani adalah sistem penalaran yang mendasarkan diri pada kasyf , tersingkapnya rahasia realitas oleh cahaya pengetahuan dari Tuhan. Cara perolehannya lewat 3 tahap, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, secara lesan maupun tulisan. Burhani adalah sistem penalaran yang didasarkan atas kekuatan rasio. Cara mendapatkan pengetahuan lewat prinsip-prinsip logika dan nalar.
Tiga model epistemologi ini sangat dominan dan berpengaruh dalam perkembangan keilmuan Islam. Bayani digunakan dalam ilmu-ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fiqh dan teologi; Irfani digunakan oleh kalangan ahli sufi; Burhani digunakan oleh kaum filosof.
Selain sejarah dan epistemologi, buku ini juga membahas masalah etika dan estetika. Etika dikaitkan dengan kajian tentang islamisasi ilmu yang marak saat ini. Yang dikaji adalah konsep islamisasi Naquib al-Attas dan Raji Faruqi. Intinya, konsep al-Attas bersifat filosofis yang mencakup aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sementara itu, konsep Faruqi sangat praktis dan aplikatif. Ada 12 langkah yang diajarkan Faruqi dalam proses islamisasi.
Estetika membahas soal konsep keindahan, yaitu menurut Husein Nasr dan Iqbal. Keduanya sepakat bahwa seni dan keindahan dalam Islam bersifat fungsional. Ada tujuan-tujuan yang harus diemban, yaitu mengingatkan kepada Tuhan, harus karya orisinal dan memberikan semangat perubahan kepada masyarakat


Jika Tuhan memang ada, tidak hanya Ia ulung meninggalkan jejak. Lebih dari segalanya, Ia ahli menyembunyikan diri.

Sepotong kalimat itulah yang mungkin akan terlontar jika
membicarakan tentang evolusi. Dalam teori evolusi Darwin, tidak ada
tempat bagi Tuhan dalam penciptaan kehidupan manusia di planet Bumi.
Kehidupan di planet Bumi tercipta bermilyar-milyar tahun yang lalu dari
bakteri purba bersel satu yang berevolusi secara kebetulan tanpa adanya
campur tangan pencipta. Seiring perkembangannya, teori evolusi Darwin
banyak ditentang terutama oleh kalangan agama, hingga muncul sosok Pierre Teilhard de Chardin
yang mencoba mengintegrasikan fenomena evolusi dengan doktrin teologis
menjadi suatu pandangan dunia yang koheren. Teilhard mengungkapkan
tentang Hukum Kesadaran-Kompleksitas, yang menyatakan bahwa evolusi
berlangsung menuju peningkatan kompleksitas yang dibarengi dengan
munculnya kesadaran yang mencapai puncaknya pada spiritualitas manusia.
Pada akhirnya, evolusi akan menemui Tuhan sebagai sumber dari segala
mahluk dan terutama sebagai sumber dari kekuatan yang meniscayakan
berlangsungnya proses evolusi.
Jostein Gaarder,
dalam novelnya yang berjudul Maya, hendak merangkum proses panjang
evolusi manusia menuju munculnya kesadaran manusia lewat dialog-dialog
cerdas para tokohnya. Tak hanya itu, ia dengan piawai memadukan kisah
cinta, dongeng, misteri, filsafat, pengetahuan ilmiah, seni dan sejarah
serta spiritualitas menjadi satu jalinan kisah yang kompleks tapi
memikat.

Selasa, 02 Desember 2008

Objek Material dan Objek Formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Beberapa Defenisi Filsafat Menurut Mereka

Karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:

a. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

b. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

c. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

d. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

e. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
- apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
- apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
- sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)

f. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

g. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Kesimpulan

Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

a. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

b. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis
hakikat sarwa yang ada, yaitu:
- hakikat Tuhan,
- hakikat alam semesta, dan
- hakikat manusia,
serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya penekanannya saja yang berbeda.


Kamis, 27 November 2008

Pokok Pemikiran Aristoteles (384-322 SM)


Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.

Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata , dan  berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.

Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.

Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".

Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".

Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.

Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yang umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)

Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing


Djody Restyo P. Joko Purnomo
Hermawan Amron R
Ari Prabawa